Tragedi Rawagedeh adalah pembantaian tentara Belanda pada tahun 1947 ketika Agresi militer Belanda ke 1 yang mengakibatkan tewasnya sekitar 431-an warga pria Rawagedeh. Tragedi Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian pembunuhan di wilayah Kampung Rawagede (terletak di Desa Balongsari, Rawamerta , Karawang) yang bertempat di antara Karawang dan Bekasi oleh tentara Belanda ketika melakukan agresi militer pertamanya pada tanggal 9 Desember 1947.
Sebelum perjanjian Renville ditandatangani, Tentara Belanda yang tergabung dalam Divisi satu atau disebut juga Divisi 7 Desember melakukan pembersihan unit pasukan TNI dan pejuang-pejuang Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dalam operasinya di daerah Karawang, para tentara Belanda ini memburu Kapten Lukas Kustario yang merupakan Komandan Kompi Siliwangi dan juga menjadi Komandan Batalyon Tajimalela atau Brigade II Divisi Siliwangi. Dijuluki “Begundal Karawang”, Lukas memang orang paling diuber Belanda. Ulahnya memusingkan. Dia kerap menyerang pos militer. Dia memimpin pasukannya membajak kereta api, menggasak senjata, dan amunisi militer Belanda. Selain itu di wilayah Rawagede ini juga banyak laskar dan pejuang Indonesia.
Pada tanggal 9 Desember 1947, satu hari setelah perundingan Renville, komandan batalyon militer Belanda, 3-9 RI, R. Boer, memerintahkan Mayor Alphons J.H. Wijnen untuk melakukan operasi ke desa Rawagede. Batalyon ini mendapat bantuan 70 tenaga militer dari kompi para 1 KNIL, kompi zeni 12 dan satuan kavaleri. Operasi di Rawagede melibatkan 90 orang tentara, yang dibagi menjadi tiga kelompok.
Tentara Belanda mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Tetapi mereka tidak menemukan satu pucuk senjatapun disana. Kemudian para tentara Belanda ini mengumpulkan semua penduduk di lapangan terbuka. Penduduk laki-laki disuruh berjejer, dan ditanya tentang keberadaan para pejuang serta Tentara Indonesia. Tetapi tidak ada satupun penduduk yang mengatakan keberadaan mereka.
Kemudian akibat bungkamnya para penduduk, pemimpin tentara Belanda memerintahkan untuk menembak mati seluruh penduduk laki-laki, baik yang sudah tua maupun remaja. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun banyak yang terlukan karena terkena tempakan. Tentara Belanda menembak mati dengan memberondong dengan senapan mesin tanpa ampun. Karena peristiwa itu sekitar 431 penduduk Rawagede tewas. Sebetulnya korban tewas lebih dari 431, karena banyak mayat yang hanyut dibawa ke sungai karena banjir dan hujan deras.
Keesokan harinya tentara Belanda meninggalkan desa tersebut. Para wanita yang masih hidup menguburkan mayat-mayat penduduk laki-laki tersebut dengan peralatan sederhana. Dikarenakan tidak dapat menggali terlalu dalam, jenazah ditutup dengan potongan kayu dan ada yang menggunakan daun pintu kemudian ditutup dengan tanah seadanya, akibatnya bau mayat masih tercium selama beberapa hari.
Selain itu banyak beberapa versi dan kronologi tentang peristiwa ini. Jumlah korban yang tewas juga masih menjadi perdebatan banyak ahli sejarah. Mengenai jumlah korban tewas, beberapa sumber menyebut angka berbeda. Menurut buku De Excessennota, tentara Belanda mengeksekusi sekitar 20 orang penduduk, total jumlah korban tewas selama operasi berlangsung 150 jiwa. Sementara pada batu peringatan di Taman Makam Pahlawan Sampurnaraga, jumlah korban tewas di Rawagede pada tanggal 9 Desember 1947 tersebut 431 jiwa.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar