Diambil dari tulisan Abdul Kohar Mudzakir, dengan beberapa penambahan dan penyesuaian oleh Abdul Wadud Nashruddin
I. PENDAHULUAN
Sebagai suatu sistem hidup (millah, din) ajaran Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama yang berhubungan dengan ibadah khususnya yang mengandung hubungan dimensi vertikal. Sedangkan yang kedua yang berhubungan dengan permasalahan hubungan antar sesama mahluk (muamalat). Kedua sub-sistem ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena keduanya merupakan komplementer satu dengan yang lainnya. Jika keduanya dipisahkan maka manusia akan mendapatkan kehinaan.
Muamallat berarti hubungan-hubungan yang tercipta antara pergaulan dua mahluk atau lebih. Dalam pergaulan sesama manusia, kita dapat membatasi ini menjadi dua jalur besar, yaitu Muamallat Maaliyah (hubungan yang berkaitan dengan masalah harta, ekonomi dll) dan Muamallat Ghairu Maaliyah (yang bukan harta, seperti pernikahan, hukum, politik dll) (Taimiyah dalam Syafi’i dan Maskhanul 2000). Dengan menggunakan kerangka muamallat maaliyah dan beberapa perangkat ide-ide ekonomi modern, kita dapat berusaha memilah sejumlah segmen dari sejarah kehidupan Muhammad Rosululloh SAW untuk menemukan konsep-konsep pembaharuan dan pola pembangunan yang beliau laksanakan dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Ada satu hal yang harus kita kemukakan kepada orang yang mengagungkan pemikiran ekonomi yang mendominasi masa kini, sesungguhnya ilmu ekonomi bukanlah kebenaran yang pasti dan bukan pula sesuatu yang abadi. Pemikiran yang berkembang sekitar ekonomi hanyalah paham yang selalu berubah dan mungkin suatu saat akan disanggah. Ilmu ekonomi adalah ilmu yang selalu mengalami renovasi dari masa ke masa.
Ilmu ekonomi sebagaimana ilmu kemanusiaan lainnya sampai saat sekarang masih tetap sebagai ilmu yang dalam proses diterima atau ditolak. Ilmu ini belum sampai dan tidak akan pernah sampai kepada titik kematangan untuk menetapkan suatu paham yang benar (Qardhowi 1995). Bahkan lebih lanjut Qardhowi (1995) yang mengutip dari ekonom Amerika bernama, John S. Cambs, menyatakan, bahwa ilmu ekonomi bukanlah ilmu melainkan sekedar “harapan ilmu”.
Qardhowi (1995) menyatakan bahwa ekonomi Islam adalah ilmu yang berdasarkan kepada ke-Tuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir pada Allah, dan menggunakan sarana dan prasarana yang tidak lepas dari syariat dan hukum Allah. Aktivitas-aktivitas ekonomi (seperti, produksi, distribusi konsumsi, perdagangan dll) yang dijalankan tidak terlepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir pada Allah. Sebagai misal, kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi, maka itu tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah. Seperti dijelaskan dalam Al Qur’an ;
“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, Maka berjalanlah disegala
penjurunya dan makanlah sebagian rezeki-Nya dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali
(setelah dibangkitkan).” (QS Al-Mulk :15)
Juga ketika menanam, maka seorang muslim merasa bahwa yang ia kerjakan adalah ibadah kepada Allah. Begitu pula saat ia sedang membajak, menganyam, ataupun berdagang. Makin tekun ia bekerja, makin taqwa ia kepada Allah ; bertambah rapi pekerjaannya, bertambah dekat ia kepada-Nya.
Memahami sistem ekonomi Islam secara utuh dan komprehensif, selain memerlukan pemahaman tentang Islam juga memerlukan pemahaman yang memadai tentang pengetahuan ekonomi umum mutakhir. Keterbatasan dalam pemahaman Islam akan berakibat pada tidak dipahaminya sistem ekonomi Islam secara utuh dan menyeluruh, mulai dari aspek fundamental ideologis sampai pemahaman konsep serta aplikasi praktisnya. Akibatnya tidak jarang pemahaman yang muncul, hanya menganggap bahwa sistem ekonomi Islam tidak berbeda dengan sistem ekonomi umum yang selama ini ada, hanya minus sistem ribawi (riba) ditambah dengan zis (zakat, infak, sedekah) juga disertai adanya prinsip-prinsip akhlak yang diperlukan dalam kegiatan ekonomi.
Sebaliknya keterbatasan dalam pemahaman tentang ekonomi umum mutakhir akan berakibat pada anggapan bahwa sistem ekonomi Islam tidak memiliki konsep operasional, namun hanya memiliki konsep-konsep teoritis dan moral seperti yang terdapat pada hukum-hukum fikih tentang muamalah , seperti perdagangan, sewa-menyewa, sistem simpan pinjam dan lain-lain. Dengan kata lain menurut meraka sistem Islam hanya berisi tentang konsep-konsep dan garis besarnya saja, tetapi sebetulnya lebih dari itu yaitu merincinya lebih lanjut dalam operasional pelaksanaannya. Karenanya untuk memahami sistem ekonomi Islam selain memerlukan pemahaman tentang Islam secara utuh, juga memerlukan pemahaman tentang
pengetahuan ekonomi umum mutakhir. Pemahaman Islam diperlukan untuk memahami prinsip-prinsip ekonomi Islam secara utuh, yang memerlukan bagian dari sistem keseluruhan. Atau dengan kata lain agar falsafah, tujuan, dan strategi operasional dari sistem ekonomi Islam dapat dipahami secara komprehensip. Dengan demikian tidak ada lagi anggapan bahwa sistem ekonomi Islam tidak memiliki landasan filosofis politis maupun strategis.
Yang perlu digaris bawahi di sini bahwa adalah suatu hal mendasar yang membedakan antara
kajian ekonomi Islam dengan ekonomi kontemporer lainnya adalah, prinsip-prinsip, dan kaidah hukum yang menyertainya. Selain itu, dalam makalah ini kami juga akan berbicara tentang kronologis historis dari perkembangan pemikiran ekonomi, yang dimulai dengan masa turunnya wahyu sampai Islam mengalami masa kejayaan dan keruntuhannya hingga sistem ekonomi Islam ini mengalami bentuknya sampai sekarang.
Ada pentingnya kita ketahui beberapa definisi ekonomi Islam menurut beberapa ahli. Definisi-definisi tersebut antara lain :
- S.M. Hasanuzzaman, ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.
- M.A. Mannan, ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari permasalahan ekonomi dari orang-orang memiliki nilai-nilai Islam.
- Khursid Ahmad, ilmu ekonomi Islam adalah “suatu upaya sistematis untuk mencoba memahami permasalahan ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan permasalahan tersebut dari sudut pandang Islam.”
- M.N. Siddiqi, ilmu ekonomi Islam adalah respon para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi zaman mereka. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al Qur’an dan As Sunnah maupun akal dan pengalaman.
- M. Akram Khan, ilmu ekonomi Islam bertujuan mempelajari kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi.
- Louis Cantori, ilmu ekonomi Islam tidak lain merupakan upaya untuk merumuskan ilmu ekonomi yang berorientasi manusia dan berorientasi masyarakat yang menolak ekses individualisme dalam ilmu ekonomi klasik.
II. PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM
Menurut Manan (1995), sedikitnya ada tujuh langkah untuk merumuskan perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi Islam, yang kesemuanya saling terkait. Pertama, mengidentifikasi suatu problem atau masalah. Kedua, mencari prinsip pedoman yang terdapat dalam syariat secara eksplisit maupun implisit, untuk memecahkan problem yang dipersoalkan tersebut. Prinsip-prinsip ini yang dapat diambil dan dideduksi dari kitab suci Al-Qur’an maupun Hadist nabi, dimana Al-Qur’an dapat dipandang abadi dalam kebenarannya. Ketiga, ditingkat operasional, ilmu pengetahuan yang mendasari prinsip atas asas itu perlu dirumuskan dan dibuatkan konsepnya terlebih dahulu. Di sinilah mulainya proses perumusan teoritik mengenai problem itu, yaitu titik tolak ilmu pengetahuan pada ilmu ekonomi Islam. Keempat, penentuan perumusan kebijakan. Pada taraf ini harus diketahui dengan jelas bahwa suatu pernyataan imperatif mengenai apa yang harus terjadi, harus dikaitkan tidak hanya dengan tingkat perumusan teoritik, tetapi juga dengan tingkat penentuan kebijakan, yang tidak boleh lepas dari syari’at. Kelima, kebijakan yang tercapai melalui analisis teoritik harus dilaksanakan3. Keenam, perlunya lembaga yang memadai dalam melaksanakan kebijakan tersebut, karena tanpa lembaga tersebut ide itu tidak dapat dilaksanakan4. Ketujuh, diperlukan peninjauan kembali pada prinsip-prinsip yang digunakan. Ini juga menunjukkan perlu adanya rekonstruksi dari teori dan kebijakan ekonomi Islam, rekonstruksi ini memberikan peluang bagi suatu pemikiran yang berkembang dan dapat diuji kebenarannya. Lebih lanjut Abdul Manan,M (1995), menyatakan bahwa hal ini merupakan suatu proses yang terus menerus. Dengan begitu akan terdapat kemungkinan yang tidak terbatas bagi pertumbuhan ekonomi Islam lebih lanjut.
Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem, ekonomi lainnya, khususnya Kapitalis dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan ekonomi pada kehidupan manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Hal ini karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuasnya (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan (need) dan keinginan (want) terbatas, sebab menurut pandangan ini pengertian antara kebutuhan dan keinginan adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri ( Riza 2000). Setiap kebutuhan yang ada pada diri manusia tersebut menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu di satu sisi kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas sementara alat dan sarana yang digunakan untuk memenuhinya terbatas, maka muncullah konsep kelangkaan. Dan dalam hal ini sistem ekonomi kapitalis tersebut hanya membahas masalah yang menyangkut aspek-aspek yang bersifat materi dari kehidupan manusia.
Selanjutnya hal ini diperkuat oleh An-Nabhani, dengan kesimpulannya bahwa sistem kapitalis itu sesungguhnya dibangun dalam tiga kerangka dasar , yaitu; Pertama kelangkaan atau keterbatasan barang-barang dan jasa-jasa yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Dimana barang-barang dan jasa-jasa itu tidak mampu atau memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang beraneka ragam dan terus-menerus bertambah kuantitasnya. Kedua, adalah nilai (value) suatu barang yang dihasilkan, ketiga, adalah harga (price) serta peranan yang dimainkannya dalam produksi, konsumsi, dan distribusi. Dimana harga merupakan alat pengendali dalam sistem ekonomi kapitalis.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, maka sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa permasalahan ekonomi utama dalam masyarakat adalah masalah rusaknya distribusi kekayaan ditengah masyarakat atau dengan kata lain komitmen Islam yang demikian mendalam terhadap persaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan (falah) bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam. Kesejahteraan ini meliputi kepuasaan fisik, kedamaian mental dan kebahagiaan yang hanya dapat dicapai melalui realisasi yang seimbang antara kebutuhan materi dan rohani dari personalitas manusia. Karena itu, memaksimumkan output total semata-mata tidak menjadi tujuan dari sebuah masyarakat muslim. Memaksimumkan output harus dibarengi dengan adanya jaminan bagi usaha-usaha yang ditujukan pada kesehatan rohani yang terletak pada batin manusia, keadilan serta perdamaian yang fair pada semua tingkat interaksi manusia dalam masyarakat. Hanya pembangunan semacam inilah yang akan selaras dengan tujuan-tujuan syariat Islam.
2.1. Sistem Ekonomi Berlandaskan Etika
Islam tidak membedakan antara ekonomi dengan etika, sebagaimana juga Islam tidak membedakan antara ilmu dengan akhlak, politik dengan etika, perang dengan etika dan lain-lain, sehingga dalam mengarungi kehidupannya seorang muslim haruslah memiliki budi pekerti dan akhlak yang mulia seperti yang di contohkan oleh Muhammad Rosululloh SAW. Manusia muslim individu maupun kelompok di satu sisi diberi kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, namun disisi lain, ia terikat dengan iman dan etika, sehingga ia tidak bebas mutlak dalam permasalahan ekonomi untuk menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya, yang akan dapat merugikan bagi orang lain. Masyarakat muslim juga tidak bebas tanpa kendali dalam memproduksi segala sumberdaya alam yang ada yang dapat berakibat merusaknya, menditrubusikannya atau mengkonsumsinya. Ia terikat dengan ikatan akidah dan etika mulia, disamping juga dengan hukum-hukum Islam.
Sebagai misal dalam memandang masalah minuman keras, Islam dengan jelas dan tegas menyebutkannya :
“Hai orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (yang)termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu termasuk hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentillah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Al-Qur’an Surat Al-Ma’idah ayat 90-91)
Minuman keras atau khamar, dari sisi ekonomi mungkin sangat menguntungkan seperti dapat membuka lapangan pekerjaan, akan tetapi larangan tersebut sifatnya sudah final dan secara kompleks dan meyeluruh, yaitu larangan bagi pembuatnya (produsennya), penyalurnya,orang yang mengantarkan barang tersebut (transportasinya), orang yang menjualnya, orang yang membelikannya, dan orang yang menuangkannya. Bahkan lebih lanjut dalam ayat tersebut, dengan minuman keras tersebut sebagai pembuka untuk dilakukannya bentuk-bentuk kejahatan yang lain, seperti, pencurian, pemerkosaan, permbunuhan dan lain-lain. Menurut Qardhawi (1980), minuman keras adalah zat yang memabukkan, maka setiap barang yang memabukkan baik itu sedikit maupun banyak juga haram, juga dapat dikatagorikan barang yang memabukkan adalah, seperti ganja, marijuana, narkotika dan lain-lain. Jelaslah bahwa ekonomi Islam yang berlandaskan etika ini tidak hanya secara harfiah melarang sesuatu itu hanya untuk sesuatu yang sesaat dan kepentingan yang sesaat juga, tetapi lebih umum dan menyeluruh untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia seluruhnya baik dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Sistem ekonomi yang berlandaskan etika ini diakui juga oleh beberapa pakar ekonomi dari Eropa, yang dikutip oleh Qardhowi (1995) antara lain; Jack Austri, seorang Perancis, dalam bukunya “Islam dan Pengembangan Ekonomi” mengatakan, “Islam adalah gabungan antara tatanan kehidupan praktis dan sumber etika mulia. Antara keduanya terdapat ikatan yang sangat erat yang tidak dapat terpisahkan. Dari sini sebetulnya orang Islam tidak dapat menerima paham ekonomi orang kapitalis yang lebih condong pada keduniaan saja tanpa memikirkan akhirat. Dan ekonomi yang kekuatannya berlandaskan wahyu dari langit itu tanpa diragukan lagi adalah ekonomi yang berdasarkan pada etika”.
Menurut J. Perth, kombinasi antara ekonomi dan etika ini bukanlah hal baru dalam Islam. “Sejak semula Islam tidak mengenal pemisahan jasmani dengan rohani. Didalam Islam kita menemukan praktek-praktek bisnis yang menggabungkan antara etika dan ekonomi, seperti; larangan untuk mengurangi takaran dan timbangan, larangan memakan riba, anjuran untuk menafkahkan harta yang dimiliki agar tidak menumpuk pada orang tertentu, larangan mempunyai sifat kikir dan untuk membersihkan hartanya“.
2.2. Sistem Ekonomi yang Bercirikan Kemanusiaan
Tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan kehidupan manusia yang aman dan sejahtera. Dengan demikian, dalam ekonomi Islam, manusia dan faktor kemanusiaan merupakan faktor utama. Faktor kemanusiaan dalam ekonomi Islam terdapat dalam kumpulan etika, yang ada pada Al-Qur’an, Hadits, serta ijma’ para ulama yang mencakup etika, kebebasan, kemuliaan, keadilan, sikap moderat dan persaudaraan sesama manusia. Etika Islam mengajurkan manusia untuk menjalin kerjasama, tolong-menolong dan menjauhi sikap iri, dengki dan dendam.
Islam juga menganjurkan kasih sayang sesama manusia terutama pada kaum lemah, anak yatim, miskin papa (bahkan dikatakan sebagai berbohong dalam agama jika kita tidak memperdulikan mereka) dan yang terputus dalam perjalanan. Islam juga menganjurkan sikap bertenggang rasa kepada para janda, tua renta dan orang yang tidak sanggup untuk bekerja. Buah yang dipetik dari etika ini ialah diakuinya oleh Islam hak milik individu, dengan syarat barang itu diperoleh dengan jalan halal. Islam juga menjaga milik individu dengan segala undang-undang dan etika yang ada (Qardhowi 1995). Adalah hak manusia untuk menjaga hal milik dan hartanya dari siapa saja yang ingin merusaknya. Qardhowi (1995) menjelaskan bahwa salah satu tanda yang jelas tentang ciri kemanusiaan pada ekonomi Islam ialah penyediaan sarana yang baik untuk manusia. Sebagai sebuah tatanan ekonomi Islam menganjurkan manusia bekerja dan berusaha. Bekerja dan berusaha yang dilakukan oleh manusia itu diletakkan Allah pada timbangan kebaikan mereka.
2.3. Sistem Ekonomi yang Bersifat Pertengahan
Menurut Qardhowi (1995) salah satu sendi ekonomi Islam adalah sifatnya yang pertengahan (keseimbangan), bahkan, ciri ini merupakan jiwanya. Sebagaimana manusia memiliki jiwa untuk hidup, maka disiplin ilmupun memiliki jiwa untuk menjalankannya. Jiwa bagi disiplin ilmu juga berfungsi sebagai peraturan untuk membedakan satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya.
Jiwa tatanan dalam Islam adalah keseimbangan yang adil. Hal ini terlihat jelas pada sikap Islam terhadap hak individu dan masyarakat. Kedua hak itu diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil (pertengahan) tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan. Islam juga bersikap di tengah-tengah antara iman dan kekuasaan.
Ekonomi yang moderat ini tidak menzalimi masyarakat khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis. Islam juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, terutama komunis, tetapi ditengah-tengah antara keduanya. Islam mengakui hak individu dan masyarakat, juga meminta mereka melaksanakan kewajiban masing-masing. Dengan demikian, Islam menjalankan peranannya dengan penuh keadilan serta kebijaksanaan.
Ekonomi adalah bagian dari tatanan Islam yang prespektif dan Islam meletakkan ekonomi pada posisi pertengahan dan keseimbangan yang adil dalam bidang ekonomi, keseimbangan diterapkan dalam segala segi keseimbangan, antara modal dan usaha, antara produksi dan konsumsi, antara produsen perantara dan konsumen dan antar golongan-golongan dalam masyarakat (Qardhowi 1995). Menurut Qardhowi (1995), bahwa norma menengah yang paling menonjol dalam lapangan perekonomian Islam ini terletak pada dua sendi, yaitu ;
- Pemahaman Islam tentang kedudukan harta. Sikap Islam terhadap harta adalah bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Dalam memandang dunia, Islam selalu bersikap tengah-tengah dan seimbang. Islam tidak condong kepada paham yang menolak dunia secara mutlak, yang mengangap dunia adalah sumber kejahatan yang harus dilenyapkan. Islam juga tidak condong kepada paham yang menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir, tapi sebagai sarana untuk mendapatkan kehidupan akhirat kelak.
- Pemahaman Islam tentang hak individu. Islam berdiri di antara kelompok yang mengakui hak individu, tetapi bukan berarti seseorang menganggap harta itu hak miliknya secara mutlak, dan di sisi lain kelompok tidak dapat memerangi hak tersebut begitu saja. Islam akan membela kepemilikan individu selama ia tidak melupakan tanggungjawab sosialnya dan tidak melakukan tindakan yang merugikan secara ekonomi atas kelompok atau orang lain.
III. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
Pemikiran ekonomi Islam lahir dari kenyataan bahwa Islam adalah sistem yang diturunkan oleh Allah kepada seluruh manusia untuk menata seluruh aspek kehidupannya dalam seluruh ruang dan waktu. Karakter agama Islam yang paling kuat adalah sistem dan penataan yang ada. Islam dengan begitu merupakan konsep tentang sebuah proyek peradaban (Fikri et.al 1997), selanjutnya dijelaskan lebih lanjut bahwa peradaban selalu berdiri di atas empat kerangka yaitu; bumi (tanah), waktu, manusia dan sistem.
Bila kita mencoba untuk mengurutkan secara historis, maka secara kronologis perkembangan dalam memahami pemikiran ekonomi Islam mengalami perkembangan dari masa ke masa, yang dimulai dari masa turunnya wahyu, masa penyebaran Islam, masa ijtihad (penyusunan ilmu-ilmu), masa stagnasi pemikiran Islam, masa invasi ideologi (terjadinya konflik antara ideologi Islam, Sosialis dan Kapitalis) dan masa Islamisasi ilmu pengetahuan (yaitu; terjadinya islamisasi ilmu ekonomi).
3.1. Masa Turunnya Wahyu
Masa turunnya wahyu yaitu saat Nabi Muhammad masih hidup (tahun 500-an ) dan masih berada di tengah-tengah kehidupan umatnya serta merima wahyu dari Allah maupun Sunnah yang datang dari beliau, baik saat berada di kota Mekkah20 yang lebih kurang berlangsung selama 13 tahun maupun setelah adanya perintah dari Allah untuk berhijrah ke kota Madinah dan bermukim disana selama lebih kurang 10 tahun. Pada saat masa turunnya wahyu tersebut permasalahan yang terjadi di masyarakat muslimin dapat langsung di pecahkan saat itu dan pada waktu itu juga. Terlebih wahyu Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi diturunkannya tidak secara sekaligus dalam bentuk kitab suci, namun turunnya secara berangsur-angsur untuk salah satunya berguna menjawab permasalahan yang ada sekaligus dapat mempermudah dalam menghafal ayat suci Al-Qur’an bagi para sahabat Nabi.
Selama masa turunnya Al-Qur’an tersebut Nabi Muhammad SAW menjelaskan kepada para sahabat dalam berbagai bentuk. Kadang dengan perkataan, kadang dengan perbuatan. Sejumlah prinsip umum dalam Al-Qur’an kadang dijabarkan secara rinci oleh Al-Qur’an sendiri, kadang pula dijabarkan lebih lanjut dalam Sunnah Rosul. Dalam kontek ini kita memahami kaitan antara Al-Qur’an sebagai sistem ideal yang turun secara bertahap dan mampu menegakkan realita sosial yang dijalani oleh Rosululloh dalam masa kenabiannya. Dalam konteks itu pula kita dapat memahami ekonomi sebagai subsistem yang diturunkan dalam kerangka realitas sosial tersebut (Fikri et.al 1997).
Sebagai subsistem, masalah-masalah ekonomi yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah secara berturut dalam tiga pola, yaitu; paradigma, prinsip umum dan rincian sistem. Baik Al-Qur’an maupun sunnah tidak membahas masalah ekonomi dalam formulasi bahasa ilmu ekonomi, karena itu bukan tujuan Al-Qur’an diturunkan. Tujuannya adalah membentuk sistem dengan dasar paradigma yang jelas dan rincian hukum yang jelas pula (Al-Shada dan Baqir 1987). Dalam paradigma itu Al-Qur’an pertama kali menjelaskan konsep khilafah (kepemimpinan) manusia di bumi yang direalisasikan dalam bentuk pemakmuran bumi. Pada masa wahyu ini, kaum muslimin sebagai sebuah komunitas baru yang tumbuh di tengah jaringan sosial masyarakat jahiliyah, tumbuh pertama kali sebagai subsistem dalam lingkaran sistem besar jahiliyah. Karena berbedanya risalah yang dibawa oleh Rosululloh dengan kondisi masyarakat, berakibat pada perlakuan yang tidak manusiawi dari penduduk Mekkah, bahkan sampai Rosul dan pengikutnya diasingkan dan diboikot atau diembargo ekonomi, sehingga akhirnya turunlah ayat yang memerintahkan kaum muslimin untuk berpindah dari kota Mekkah ke kota Madinah.
Dengan telah menetapnya kaum muslimin di kota Madinah, dimulailah kehidupan baru dengan negara baru yang dibangun. Namun ancaman dan tindakan yang tidak bersahabat dari suku Quraisy dari Mekkah tidak berhenti, dan dalam sejarah mencatat adanya beberapa peperangan antara lain; perang Badar, parang Uhud, perang Tabuk, perang Khondak dan lain-lain. Seluruh peperangan itu tentu saja mempunyai beberapa implikasi, diantaranya yang penting yang dapat dicatat dalam permasalahan ekonomi adalah ;
- Kebutuhan akan kekuatan dana yang besar untuk membiayai peperangan. Ini tentu saja menuntut kaum muslimin untuk lebih kreatif mencari dan mengembangkan sumber-sumber dana internal. Inilah yang mendorong para sahabat untuk begitu giat dalam berbisnis, karena bisnih dalam hal ini akan terkait dengan kelangsungan agama dan eksistensi negara serta kehidupan mereka sendiri.
- Konsekuensi yang terjadi setelah perang jika kaum muslimin mendapatkan kemenangan, yaitu akan munculnya masalah harta rampasan perang (ghanimah). Dan ini pertama kali dialami kaum muslimin ketika Rosululloh mengutus ekspedisi Nikhlah dibawah komando Abdullah Bin Jahasy Alasady (Al-Rayyis 1985 dalam Fikri et.al 1997), yang selanjutnya kaum muslimin memperoleh harta rampasan perang yang besar pada saat perang Badar. Sehingga dapat disebutkan disini bahwa pada masa turunnya wahyu ini, sumber pendapatan negara berasal dari zakat dan ghanimah .
Kedua hal ini sekali lagi, telah memaksa kaum muslimin untuk secara serius memikirkan berbagai realitas ekonomi yang mereka hadapi.
.
3.2. Masa Penyebaran Islam
Pada masa-masa akhir hidupnya Rosulullah SAW sebenarnya telah melakukan kontak dalam berbagai bentuk dengan dua imperium besar di jazirah Arab, yaitu kerajaan Persia dan Romawi. Kontak itu dimulai dengan mengirimkan surat kepada seluruh penguasa yang ada pada waktu itu, khususnya Kaisar (Romawi) dan Kisra (Persia) pada tahun ke-7 Hijrah (628 M) dan mengajak mereka kepada Islam. Dan setelah Rosululloh meninggal dunia maka penggantinya dalam memimpin umat Islam yang lebih dikenal dengan sebutan Khulafaur Rosyidin yang terdiri dari ; Abu Bakar RA (12-13 H=633-634M), Umar Bin Khotab (13-23 H=634-644M), Ustman Bin Affan dan Ali Bin Abu Thalib meneruskan apa yang telah dirintis oleh Rosulullah SAW.
Pada masa Khulafaur Rosyidin itulah motivasi untuk menyebarkan Islam ke daerah sekitar jazirah Arab semakin intens terutama ke Romawi dan Persia, dalam hal ini motivasi tersebut ditunjang oleh beberapa hal ; pertama adanya keinginan yang kuat dalam diri seorang muslim untuk menebarkan Islam ditengah-tengah masyarakat yang belum memeluk Islam. Kedua, adanya janji dari Allah melalui surat-Nya dalam Kitab AlQur’an bahwa akan mampunya ditaklukkan bangsa Romawi oleh umat Islam, dengan keyakinan yang tinggi dan usaha yang sungguh-sungguh itulah akhirnya umat Islam mampu menaklukkan Kerajaan Romawi yang terjadi pada saat Umar Bin Khotab menjadi khalifah (pemimpin), yaitu pada daerah subordinat Romawi, kemudian sebagian besar wilayah Persia, Irak atau Sawad yaitu di Syam. Dan usaha tersebut kemudian diteruskan oleh Ustman Bin Affan, hingga kaum muslimin mampu menguasai seluruh wilayah Persia; dari Irak hingga ke wilayah Asia Tengah dan perbatasan Asia Selatan, seluruh wilayah subordinat Romawi dari Syam hingga Mesir dan beberapa wilayah Afrika, serta beberapa wilayah Afrika Utara (Magribi) (Katsir, I, 1984).
Konsekuensi dari semakin besarnya wilayah Islam tersebut memberikan masalah besar terhadap bidang ekonomi dan keuangan, antara lain :
- Pertama, beberapa bentuk harta rampasan perang dari sekian banyak kemenangan ternyata mulai memiliki sifat yang berbeda-beda. Tidak hanya berupa harta bergerak seperti uang, senjata dan kendaraan, tetapi telah berwujud harta yang tidak begerak, seperti tanah dan bangunan. Harta itu jika langsung dibagi tentu akan memberikan berbagai implikasi pada masa-masa yang akan datang, misalnya masalah monopoli.
- Kedua, jumlah harta yang sangat besar tentunya menyebabkan terjadinya surplus pada kas negara. Implikasi selanjutnya adalah semakin dibutuhkannya berbagai bentuk intstitusi keuangan menjadi hal yang tidak terelakkan.
Pada permasalahan pertama, dengan adanya harta rampasan perang dari sekian banyak kemenangan ternyata mulai memiliki sifat yang berbeda-beda, mendorong para sahabat untuk berijtihat. Ijtihat tersebut berlangsung dalam suasana yang penuh demokratis dalam majelis yang disebut Syura. Para sahabat yang membahas permasalahan ini dibawah pimpinan Umar Bin Khotab terbagi dalam dua pendapat :
- pertama yang mengharuskan tanah itu dibagi sebagai ghanimah kepada para mujahidin sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 41 : “ Dan ketahuilah bahwa harta yang kamu peroleh dari perang maka seperlimanya milik Allah dan Rosul serta kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil”
- Kedua, pendapat yang menghendaki tanah itu dijadikan fa’i dan berfungsi sebagai wakaf bagi kaum muslimin dimana para pekerja non-muslim yang selama ini mengelolanya tetap mengelolanya, tetapi harus membayar jizyah sebagai seorang zimmi, sedang sebagian dari hasil garapan tanah itu diambil sebagai kharaj. Alasan dari pendapatan kedua ini berdasarkan pada Firman Allah pada Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 7-10: “Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rosul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rosul, kerabat Rosul, anak-anak yatim, orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya. Juga bagi fukara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan Keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rosul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan Orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Ansor) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansor), mereka berdoa : ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang ”.
Kemudian setelah kedua pendapat tersebut diungkapan dengan masing-masing mempunyai landasan dasar yang kuat, kemudian Umar Bin Khatab berkata kepada mereka “Sesungguhnya Aku tidak sedang menganggu kalian kecuali hanya agar kalian turut membantuku dalam menunaikan amanah, yaitu dari urusan-urusan kalian yang telah dibebankan kepadaku. Sesungguhnya Aku hanyalah salah satu dari kalian. Dan kini kalian harus menyatakan kebenaran. Silakan orang yang berbeda akan berbeda denganku, dan silahkan orang yang sepakat akan sepakat denganku.” Kemudian Umar Bin Khatab melanjutkan penjelasannya dengan mengutip Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 7-10 dan memberikan beberapa keterangan lebih lanjut, bahwa tanah itu harus tetap dikelola oleh pengelola sebelumnya (orang non-muslim), lalu mereka (sebagai Zimmi) yang harus membayar jizyah dan dari hasil garapan tanah itu diambil kharaj. Dimana semua harta itu kemudian dibagi sebagai wakaf bagi kamu muslimin baik para mujahidin maupun mereka yang datang sesudahnya serta seluruh kaum muslimin. Dan akhirnya kaum muslimn saat itu menyepakati pendapatan bahwa tanah itu memang sepatutnya dijadikan sebagi fa’i dan berfungsi sebagai wakaf bagi kaum muslimin dimana pekerja non-muslim yang selama ini mengelolanya tetap mengelolanya, tetapi harus membayar jizyah sebagai seorang zimmi, sedang sebagian dari hasil garapan tanah itu diambil sebagai kharaj (Sallam dan Abu Ubaed Al-Qassim, dalam Fikri. A, et.al. 1997). Dengan demikian dapat dicatat disisni, bahwa sumber pendapatan negara saat itu antara lain bersumber pada; Zakat, Ghanimah, Kharaj , Jizyah dan ‘Usyur (Al-Rayyis dan Islami 1995).
Sumber pendapatan yang melimpah ini akan meningkatkan pendapatan kaum muslimin, tetapi selain itu justru menimbulkan implikasi bahwa berbagai bentuk intstitusi keuangan menjadi kebutuhan yang tidak dapat terelakkan. Masalah ini kemudian diselesaikan dengan mendirikan sejumlah institusi keungan untuk menjaga keselamatan kas negara selain berfungsi untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dan keuangan. Dari sinilah kemudian lahir gagasan pendirian Baitul Mal dan terealisir pada saat kepemimpinan pada masa Umar Bin Khatab.
3.3. Masa Ijtihad ; Penyusunan Ilmu-Ilmu
Berbagai konflik berdarah di kalangan internal umat Islam yang muncul pada akhir masa Khulafaur Rosyidin dan berlanjut dengan pemerintah dibawah dinasti Bani Umayah, Abbasyiyah dan sampai pada pemerintahan Ustmaniyah. Pada masa Bani Umayah memerintah, konflik yangterjadi sedikit dapat diredam dan Islam dapat menyebar sampai memasuki wilayah Eropa melalui Andalusia, Palermo dan Sicilia. Namun dapat dicatat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian, yaitu;
- pertama, dengan seiring semakin memanasnya situasi politik pada saat itu berdampak pada mulai bermunculannya Hadist palsu karena didorong oleh keinginan untuk menyatakan bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Namun demikian justru pada masa tersebut telah terjadi usaha untuk mengumpulkan hadits-hadits dari Rosululloh untuk dibukukan yaitu pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayah, yaitu pada saat Umar Bin Abdul Azis menjadi kholifah pada akhir abad ke-satu hijriah.
- Kedua, wilayah Islam mulai berkembang, dan dari perkembangan ini menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks dengan ada yang terjadi pada saat-saat Khulafaur Rosidin, yaitu seperti permasalahan ekonomi dan keuangan, seperti dengan adanya kebutuhan pembangunan infrastruktur yang terjadi disegala bidang.
Dalam hal ini dunia Islam telah menciptakan adanya dinamika kehidupan serta perluasan jaringan-jaringan sosial dengan adanya kecenderungan kristalisasi bidang-bidang kehidupan yang bersifat spesialis, termasuk dalam bidang ekonomi, baik dalam skala aplikasi maupun pemikiran. Ini adalah masa dimana kaum muslimin mulai beralih dari era negara Islam menuju era peradaban Islam. Dalam peradaban itu tergantung banyak suku dan ras manusia, sebanyak budaya lokal yang mereka masing-masing dan semuanya bertemu pada peradaban ini (Fikri et.al 1997). Dan kemampuan yang memadukan berbagai perbedaan itulah yang akan mampu untuk membentuk suatu peradaban baru.
Pada saat itu salah satu bidang yang berkembang dengan pesat adalah ilmu pengetahuan, baik ilmu keislaman murni maupun ilmu-ilmu alam. Dapat dikatakan bahwa perkembangan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan, baik keislaman maupun alam, terjadi sekitar abad kedua, ketiga, keempat sampai pertengahan abad kelima Hijriah. Sesuatu yang penting yang menandai masa ini adalah terjadinya proses kristalisasi keilmuan, yang dimulai dari suatu paradigma (ideologi atau akidah) dan prinsip umum, ke suatu sistem atau rincian hukum yang merupakan formulasi teoritis yang kemudian melahirkan spesialisasi kelompok ilmu-ilmu yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Proses tansformasi itu, dengan begitu telah berjalan proses perubahan seperti; dari akidah melahirkan paradigma, paradigma melahirkan metodologi, metodologi melahirkan substansi ilmu dan ilmu menjamah menjadi realitas dalam terapan. Pada masa itu juga kita mencatat lahirnya ulama-ulama besar dalam berbagai disiplin ilmu Islam, sebagiannya dengan kualifikasi mujtahid dan mendirikan mahzab, seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafi’i.
Walaupun begitu, Ibnu Al-Nadim (438H/1047M) mencatat beberapa nama ulama dengan sejumlah karya ilmiah yang secara khusus membahas permasalahan ekonomi dan keuangan. Sebagian karya itu masih bertahan sampai sekarang, sebagian lagi sudah hilang. Yang hilang itu antara lain:
- Hafshawaih:“Kitab Al-Kharaj”.Buku ini merupakan yang pertama dalam masalah ini,
- Al-Hasan Bin Ziyad Al-Lu’lu’i (204 H/819 M):”Al-Kharaj dan Al-Nafaqat”,
- Al-Haetsam Bin Adi Al-Kufi (114-207 H/ 732-822M)
- Ibnu Daud (208 H/823M)
- Al-Ashma’i, Abu Said Abdul Malik (122-216 H / 704-831 M): “Kitab Alkharaj “,
- Ibnu Al-Madani, Ali Bin Abdulloh Bin Ja’far Al-Sa’di (161-234H/777-849M): “Amwal Al-Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam”.
- Ja’far Bin Mubasysyir (234 H / 848 M),
- Abul ‘Abbas Al-Ahwal (270 H / 883 M).
Adapun lebih lanjut Ibnu Al-Nadim (438H/1047M) menjelaskan adapun kitab-kitab tersebut yang sampai sekarang ada ke tangan kita adalah :
- “Risalah Al-Shahabah” karya Abdulloh Bin Al-Mugaffa’ (109-145H/722-762M). Buku ini ditulis oleh beliau untuk kebutuhan seorang khalifah Abasiyah, Abu Ja’far Al-Mansur (135-158H/754-775M). Isinya secara umum berbicara tentang kebijakan dan adminstrasi keuangan negara,
- “Kitab Alkharaj”, karya Abu Yusuf (113-182 H/731-789M). Buku ini ditulis sebagai jawaban atas 26 pertanyaan yang diajukan oleh Khalifah Harun Al-Rosyid (170-193H/786-809 M) yang berlangsung dalam kurun waktu antara tahun 170 H sampai tahun 171 H, semuanya menyangkut masalah Al-Kharaj. Buku ini kata Dr. Muhammad Imarah, merupakan fatwa seorang fakih mujtahid,
- “Kitab Alkharaj”, karya Yahya Bin Adam Al-Quraisy (140-203 H/757-818M). Ini adalah buku dengan format kecil yang lebih banyak mengumpulkan hadits-hadits yang berkaitan dengan Fiqih Al-Amwal,
- “Kitab Al-Amwal”, Karya Abu Ubaid Al-Qasim Bin Sallam (157-224 H/774-838 M). Buku ini membahas berbagai masalah kebijakan keuangan secara komprehensif. Dibanding yang lain buku ini dapat dianggap sebagai yang terlengkap dan komprehensif,
- “Kitab Al-Amwal”, Karya Abu Bin Zanjiwah (180-251 H/796-865 M). Buku ini membahas tema yang sama dengan buku Abu Ubaid Al-Qasim Bin Sallam, bahkan juga mengutip begitu banyak dari buku tersebut. Selain, Ibn Zanjiwah juga merupakan murid dari Al-Qasim Bin Sallam .
Itulah beberapa karya ilmiah yang muncul dalam bidang ekonomi dan keuangan pada awal masa penulisan karya-karya ilmiah dan penyusunan ilmu-ilmu dalam sejarah Islam. Namun dapat dicatat disini bahwa yang diungkapkan oleh Ibnu Al-Nadim (438H/1047M) lebih merupakan buku yang ditulis pada saat ada kebutuhan yang menyertainya, yaitu saat kholifah yang ada saat itu membutuhkan permasalahan yang memerlukan penanganan dan jawaban, maka ulama saat itu menulis hal yang berkaitan dengan permaslahan itu. Namun secara khusus dapat dikatakan bahwa karya Abu Ubaid Al-Qasim Bin Sallam “Kitab Al-Amwal”, merupakan karya ilmiah yang relatif komprehensif dari segi tema dan meng-cover sebagian besar bentuk aktifitas perekonomi ketika itu.
3.4. Masa Stagnasi Pemikiran Islam
Gerakan ilmiah yang menandai peradaban Islam sejak abad kedua, ketiga dan keempat hijriah perlahan mulai memudar pada akhir abad kelima. Apalagi pada waktu itu, isu penutupan pintu Ijtihad mulai muncul ke permukaan dan secara perlahan menjadi keyakinan umum. Yang terasa adalah adanya era taklid buta36, sehingga pada masa itu mulai terasa awal dari stagnasi pemikiran dalam sejarah Islam. Situasi itu tentu saja mempengaruhi semua bidang kehidupan termasuk bidang ekonomi, baik dalam skala pemikiran maupun aplikasi. Walaupun dunia Islam ketika itu hidup dalam kelimpahan harta, namun pemikiran ekonomi Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti. Kelimpahan harta ini justru mendorong lahirnya gerakan Sufiesme di kalangan ulama. Bahkan kemewahan sendiri dalam Al-Qur’an disebutkan jika tidak segera dibatasi akan menjadi ancaman bagi kelangsungan suatu peradaban.
Jika kemewahan memiliki pengaruh yang kuat dalam menghentikan dinamika dan laju pertumbuhan peradaban, maka apa yang kemudian sangat meyedihkan ialah sikap sufiesme yang justru dengan mengundurkan diri dari pergumulan sosial dan membiarkan virus ini akan mengerogoti keberadaan peradaban Islam. Dalam berbagai institusi pendidikan Islam, perlahan–lahan ilmu-ilmu keduniaan digeser dan perhatian para ulama lebih terfokus hanya pada ilmu-ilmu syari’at. Tetapi Quthub (1988) menyatakan bahwa; dalam ilmu-ilmu syari’at-pun para ulama hanya memfokuskan perhatian mereka pada warisan ilmiah syaria’at yang ada sampai abad kelima. Dan tentunya dalam hal ini ilmu ekonomi, dari latar historis ini, kemudian termasuk ilmu-ilmu dunia yang semakin tergeser keberadaannya. Jadi pada masa itu dua sikap yang bertolak-belakang ini yaitu, sikap pada kemewahan harta dan sikap sufiesme sama-sama mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemunduran peradaban dan pemikiran umat Islam.
Lebih lanjut semua faktor tersebut kemudian secara perlahan menghilangkan kepekaan pemikiran umat Islam terhadap ilmu pengetahuan, bahkan lebih jauh, membuat mereka merasa tidak membutuhkannya. Namun demikian, kita masih dapat menemukan satu dua karya ilmiah dalam bidang ekonomi, seperti “Muqaddimah” karya Ibnu Khaldun (1332-1406 M) . Muqaddimah ini merupakan pengantar yang dibuat Ibnu Khaldun untuk buku sejarahnya, dimana ia menjelaskan tentang visi peradaban dan mencoba menjadikannya sebagai latar belakang dari paradigma untuk membaca sejarah. Tetapi ruang lingkup tema yang dicakup dalam muqaddimah demikian luasnya, sehingga buku ini merupakan cikal bakal lahirnya ilmu-ilmu sosial dan karenanya Ibnu Khaldun juga dianggap sebagai Bapak Sosiologi.
Pada umumnya masalah ekonomi terpencar dalam lembaran-lembaran muqaddimah, namun secara khusus Ibnu Khaldun juga membahsnya dalam suatu bab tentang masalah ekonomi dalam berbagai aspeknya. Masalah ini dibahas dalam Bab V yaitu tentang Mata Pencaharian dan Keharusan Melakukannya Melalui Usaha (Kasab) dan Profesi (Shina’ah). Secara tematis, bab ini membahas berbagai sektor ekonomi, dimulai dengan pembahasan tentang berbagai sektor perekonomian yang ada ketika itu seperti pertanian, perdagangan, industri dan lainnya. Tetapi pembahasan ekonomi ini diletakkan dalam konteks visi peradaban dan karenanya ia meletakkan ekonomi sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan peradaban. Setiap sektor perekonomian yang dibahas Ibnu Khaldun lebih mengacu pada bagaimana sektor itu dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi serta bagaimana suatu sektor seharusnya dikembangkan. Pada bagian terakhir buku ini ia mengaitkannya dengan dimensi-dimensi sosial lainnya.
3.5. Masa Invasi Ideologi ; Konflik antara Ideologi Islam, Sosialis dan Kapitalis
Pada paruh pertama abad ke-20 berbagai bentuk perjuangan kemerdekaan merebak di dunia Islam. Tetapi pada waktu yang sama invasi ideologi mulai memperlihatkan dampaknya pada arus ideologi yang berkembang dikalangan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan. Ada tiga arus pemikiran yang saling berseturu dengan kuat ketika itu; Islam, Komunis dan Sekularisme (Nasionalisme). Namun pada aplikasi ekonomi, kita menemukan jabaran ketiga ideologi dalam Islam, Komunis dan Kapitalisme . Tetapi pada sebagian besar wilayah dunia Islam, Komunis dan Kapitalisme berhasil tampil sebagai pemenang dalam pergumulan sosial dan politik saat itu. Sementara itu, secara perlahan Islam mengalami proses marginalisasi dari segala bidang kehidupan terutama ekonomi, sosial dan politik.
Tetapi perlu dicatat bahwa saat itu gerakan Islamisasi terus berlangsung sejak era Jamaluddin Al-Afghani, Abdurrahman Al-Kawakibi, Muhammada Abduh, Rosyid Ridho hingga Hasan Al-Banna di Mesir. Gerakan ini menampakkan diri sebagai gerakan untuk mengeluarkan umat Islam dari cengkeraman penjajahan maupun ideologi penjajah yang dibawanya. Bahkan gerakan ini memiliki gaung yang semakin jauh terasa terutama di negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia dengan kelahirannya perserikatan Muhammadiyah pada tahun 1911M yang memiliki nafas dari gerakan Hasan Al Banna di Mesir.
3.6. Masa Islamisasi Ilmu Pengetahuan ; Islamisasi Ilmu Ekonomi
Islamisasi Ilmu pengetahuan merupakan gerakan pemikiran yang sangat ekspansif jika dilihat dari konteks historis dimana gagasan itu lahir, ia menandai awal dari sebuah suksesi peradaban. Apa yang ia lakukan adalah merekonstruksi elemen-elemen yang membentuk bangunan peradaban. Salah satunya adalah elemen ilmu pengetahuan. Salah satu disiplin ilmu sosial yang paling cepat mengalami proses Islamisasi adalah ilmu ekonomi. Bahkan dapat dikatakan, ilmu ekonomi adalah yang paling matang dalam proses dan hasilnya dari sekian banyak disiplin ilmu sosial. Islamisasi ilmu ekonomi, secara umum dapat dikatakan telah melalui beberapa tahapan penting :
3.6.1. Pertama : Tahap Komparasi
Pada tahap ini Islam sebagai sistem dihadapkan dengan sistem-sistem ekonomi lainnya, seperti Sosialisme dan Kapitalisme. Perbandingan semacam ini selalu menjadi kebutuhan psikologis dan rasional sekaligus. Beberapa pemikir yang karyanya dapat mewakili era komparasi ini antara lain:
- Sayyid Quthub, dalam bukunya “Al-A’dalah Al-Ijtima’iyyah Fi-Al-Islam” (Keadilan Sosial Dalam Islam). Buku ini memang tidak membahas sistem ekonomi Islam secara khusus, tetapi lebih terfokus pada masalah kebijakan keuangan dalam Islam dan kaitannya dengan keadilan sosial. Buku ini merupakan tulisan awal yang sangat berpengaruh dalam dunia pemikiran Islam, dengan kekuatan struktur pemikiran , konsistensi metodologis dan pesona bahasa telah memberikan tempat tersendiri bagi buku ini, dan membuatnya tetap dibutuhkan saat ini.
- Dr. Mushthafa Al-Siba’I, pemikir Islam asal Syiria dalam bukunya “Isytirakiyyat Al-Islam” (Sosialisme Islam). Buku ini merupakan salah satu buku yang terbaik dalam komparasi antar sistem (Islam dan Sosialisme), walaupun nuansa apologis masih terlihat disana-sini dan pada beberapa kesempatan menjebaknya dalam beberapa kesalahan, seperti yang dikatakan oleh DR. Muhammad Al-Mubarak, pemikir Islam yang juga berasal dari Syiria.
- Syekh Muhammad Al- Gazali, ulama dan pemikir Islam asal Mesir, pada tahun 1947 menerbitkan buku pertamanya dengan judul “ Al-Islam Wa Al-Audha’ Al-Iqtishadiyah” (Islam dan Kondisi Ekonomi Kontemporer). Buku ini memberikan gambaran yang jelas tentang agama (Islam), ruh yang membentuk prinsip-prinsip umumnya, serta sikapnya secara umum terhadap berbagai pemikiran dan masalah ekonomi kontemporer.
- Dr. Abdul Qadir Audah, pemikir Islam asal Mesir, juga menulis buku yang sama judulnya yaitu ; “Al-Islam Wa Al-Audha’ Al-Iqtishadiyah” (Islam dan Kondisi Ekonomi Kontemporer).
- Abul A’la Al-Maududi, pemikir Islam asal Pakistan, menulis buku yang membahas perbandingan antara Islam, Sosialisme dan Kapitalisme, dalam bahasa Urdu. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad ‘Ashim Al-Haddad dengan judul :”Usus Al-Igtoshad Baen Al-Islam Wa Al-Nuzum Al-Mu’ashirah” (Dasar- Dasar Ekonomi antara Islam dan Sistem Modern). Selanjutnya secara khusus beliau juga menulis buku tentang Riba dalam pandangan Islam dengan pendekatan ekonomi yang kuat secara teorotis.
- Muhammad Baqir Al-Shadr, pemikir Islam asal Irak, menulis buku tentang perbandingan antara Islam, Sosialisme dan Kapitalisme dengan judul : ”Iqtishaduna” (Ekonomi Kita). Buku ini merupakan seri kedua dari seri konsep Islam yang beliau susun dalam berbagai aspek kehidupan. Buku ini memadukan kedalaman seorang fakih, keluasan wawasan seorang pemikir dan ketelitian seorang peneliti, yang mejelaskan perbandingan antar sistem ekonomi.
- Abul Hasan Ali Al- Hasani Al-Nadawi, pemikir Islam asal India,menulis secara khusus sebuah perbandingan antara Islam dan Marxisme dalam bukunya :”Islam dan Marxisme”. Buku ini telah mendapat sambutan yang cukup luas dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Para pemikir tersebut umumnya bukan orang mendalami ilmu ekonomi sebagai spesialisasi. Pada umumnya mereka bukan ekonomi yang spesialis, tetapi mereka memiliki kualifikasi sebagai pemikir generalis, yang memiliki minat dan perhatian terhadap hampir semua masalah termasuk masalah ekonomi. Tetapi keterlibatan pemikiran mereka yang begitu untens dengan berbagai masalah sosial, telah memberikan bobot ilmiah tersendiri bagi karya-karya mereka dan menjadi landasan bagi karya-karya ilmiah selanjutnya. Mereka terutama berpretensi pada pengembalian afiliasi menusia muslim modern kepada Islam, dengan kesadaran ilmiah yang kuat dan dalam, dengan cara menghadirkan Islam sebagai sistem dalam suatu pembahasan yang mampu mengakses akal-akal modern. Apa yang terbangun disini adalah; paradigma tentang Islam afiliasi baru kepada Islam yang lebih sadar.
3.6.2. Kedua : Tahap Konseptualisasi
Pada tahap ini, dimulailah keterlibatan para pakar ekonomi dalam mengIslamisasi ilmu ekonomi ini. Mereka kemudian melangkah lebih jauh dengan merumuskan konsep ekonomi Islam dengan pendekatan teoritis yang lebih kuat. Pada awal dekade 60-an, beberapa karya ilmiah yang membahas konsep ekonomi Islam mulai bermunculan. Misalnya buku yang ditulis oleh Dr. Abdul Hamid Abu Sulaiman, “Nazhariyyat Al-Islam Al-Iqtshadiyah: Al Falsafah Wa Al-Mua’shirah” (Konsep Ekonomi Islam : Filosofi dan Saran-Saran Modern), terbit di Kairo pada tahun 1960. Dr. Isa Abduh menulis tentang “ Al-Faidah ‘Ala Ra’s Al-Mal” (Bunga Atas Modal) dan “Al-Iqtishad Al-Syiyasah” (Ekonomi Politik).
Pada tahun 1973, Muktamar II WAMY (Word Assembly Moslem Young) yang mengeluarkan sebuah rekomendasi untuk mengadakan konferensi Islam internasional ekonomi. Rekomendasi tersebut kemudian terrealisasi tiga tahun kemudian. Maka pada tahun, 1976 Konferensi Islam I tentang Ekonomi diadakan di Mekkah. Satu tahun kemudian, tepatnya tahun 1977, konferensi Islam I tentang Islam dan Tatanan Ekonomi Dunia Baru diadakan di London. Pembahasan yang lebih khusus tentang moneter dan keuangan dilakukan dalam sebuah Konferensi Ekonomi Moneter dan Keuangan Dalam Islam pada tahun 1978, di Mekkah. Tema yang sama kemudian dibahas lagi dalam sebuah konferensi di Islamabad tahun 1981. Pada tahun 1982, sebuah konferensi yang membahas masalah perbankan Islam dan Strategi Kerja Sama Ekonomi diadakan di Jerman Barat. Kemudian satu lagi konferensi tentang ekonomi Islam diadakan di Islamabad pada tahun 1983.
Studi dan paper yang dibahas dalam koferensi-koferensi tersebut kemudian dipublikasikan dalam 12 buku. Selama masa itu, berbagai pemikiran tentang ekonomi Islam terus berkembang. Berbagai konsep ekonomi Islam yang banyak mendapatkan perhatian adalah aspek moneter dan keuangan. Kecenderungan ini disebabkan oleh dua hal :
- Pertama, tema ekonomi yang secara luas dibahas dalam Al-Qur’an adalah Riba. Dan ini merupakan dasar dari sistem ekonomi kontemporer.
- Kedua, masalah moneter dan keuangan secara langsung terkait dengan masalah institusi ekonomi, karena itu masalah ini relatif lebih aplikatif .
3.6.3. Ketiga : Tahap Institualisasi
Dengan besarnya perhatian pakar ekonomi Islam pada permasalahan moneter dan keuangan telah mendorong lahirnya sejumlah institusi ekonomi Islam, khususnya sektor perbankan. Pada tahun 1963 di kota Mayt Ghamr, Mesir, berdiri sebuah bank Tabungan lokal yang mencoba menerapkan sistem mudarabah. Kemudian pada tahun 1971 berdiri lagi bank di Mesir yang bernama Bank Sosial Nasser. Tetapi kedua lembaga keuangan itu tidak berhasil.
Upaya itu terus berlanjut, sebuah upaya yang lebih matang muncul di Uni Emirat Arab ketika mereka mendirikan Bank Islam Dubai, kesuksesan ini kemudian disusul dengan berdirinya Bait Al-Tamwil Al-Kuwait, dan usaha ini terus berlanjut sampai di negara-negara lain sepereti di Yordanian, Sudan, Mesir dan negara lain di wilayah Asia, Afrika dan Eropa yang mencapai 40 bank.
Bank Islam dengan taraf internasional untuk pertama kalinya berdiri pada 20 Oktober 1975, yaitu Islamic Development Bank (IDB) dan berpusat di Jeddah dengan jumlah yang hingga kini mencapai 47 cabang.
3.6.4. Keempat : Tahap Evaluasi dan Pengembangan
Dengan pengalaman selama lebih dari 20 tahun dalam lembaga institusi sistem ekonomi dalam bentuk perbankan ini, menurut Khurshid Ahmad, begawan ekonomi asal Pakistan, mengatakan bahwa minimal ada tiga langkah yang dapat dilakukan dalam upaya evaluasi dan pengembang itu, antara lain :
- pertama, mengumpulkan seluruh aktivitas perekonomian baik pemikiran maupun aplikasi dan mengindari hanya membahas satu kasus saja, seperti moneter dan perbankan. Pada tahap ini kita harus dapat membedakan antara aspek-aspek makro dari aspek-aspek mikro secara mendetail.
- Kedua, melakukan evaluasi atas pengalaman empiris tersebut dengan tujuan merevisi konsep dan memperbaiki kemampuan aplikasi. Pada tahap ini semua konsep dan teori harus diuji kebenarannya, demikain juga semua lembaga termasuk lembaga keuangan, harus dievaluasi kemampuan dan prospeknya.
- Ketiga, seluruh konsep, teori dan pengalaman aplikatif dalam satu sektor ekonomi harus diletakkan dalam konteks sistem ekonomi Islam secara umum, serta kaitan sistem tersebut dengan tatanan nilai dan norma sosial Islam secara keseluruhan. Karena setiap subsitem Islam, betapapun pentingnya, tidak memberi hasil jika bekreja sendiri dan terpisah dari subsitem lainnya.
VI. PENUTUP
Ajaran Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua, pertama yang berhubungan dengan ibadah khususnya yang mengandung hubungan dimensi vertikal dan kedua yang berhubungan dengan masalah-masalah antar hubungan sesama mahluk (muamalat). Muamallat sendiri terdiri dari, Muamallat Maaliyah (hubungan yang berkaitan dengan masalah harta, ekonomi dll) dan Muamallat Ghairu Maaliyah (yang bukan harta, seperti pernikahan, hukum, politik dll). Dengan menggunakan kerangka muamallat maaliyah dan beberapa perangkat ide-ide ekonomi modern, kita dapat berusaha memilah sejumlah segmen dari sejarah kehidupan Muhammad Rosululloh SAW untuk menemukan konsep-konsep pembaharuan dan pola pembangunan yang beliau laksanakan dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Ekonomi Islam adalah ilmu yang berdasarkan ke-Tuhanan, sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir pada Allah, dan menggunakan sarana dan prasarana yang digunakan tidak lepas dari syariat dan hukum Allah. Dengan demikian memahami sistem ekonomi Islam secara utuh dan komprehensif, selain memerlukan pemahaman tentang Islam juga memerlukan pemahaman yang memadai tentang pengetahuan ekonomi umum mutakhir. Keterbatasan dalam pemahaman Islam akan berakibat pada tidak dipahaminya sistem ekonomi Islam secara utuh dan menyeluruh, mulai dari aspek fundamental ideologis sampai pemahaman konsep serta aplikasi praktisnya.
Perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya, khususnya kapitalis adalah dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan ekonomi pada kehidupan manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Hal ini karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan (need) dan keinginan (want) terbatas, sebab menurut pandangan ini pengertian antara kebutuhan dan keinginan adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri. Setiap kebutuhan yang ada pada diri manusia tersebut menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas.
Sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa permasalahan ekonomi adalah rusaknya distribusi kekayaan ditengah masyarakat atau dengan kata lain komitmen Islam yang demikian mendalam terhadap persaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan (falah) bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam.
Sistem ekonomi Islam mempunyai karakteristik antara lain; Sistem ekonomi berlandaskan etika, sistem ekonomi yang bercirikan kemanusiaan, dan ekonomi yang bersifat pertengahan. Karakteristik sistem ini merupakan penjabaran dari ajaran Islam sendiri yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sehingga dalam Islam, sikap kaffah (secara menyeluruh dalam melaksanakan ajarannya) sangatlah diutamakan, maka dalam semua aktivitas hidupnya seorang muslim haruslah selalu berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tidak terkecuali pada aktivitas perekomian yang dijalaninya.
Secara kronologis historis perkembangan dalam memahami pemikiran ekonomi Islam mengalami perkembangan dari masa ke masa, yang dimulai dari masa turunnya wahyu, masa penyebaran Islam, masa ijtihad (penyusunan ilmu-ilmu), masa stagnasi pemikiran Islam, masa invasi ideologi (terjadinya konflik antara ideologi Islam, Sosialis dan Kapitalis) dan masa Islamisasi ilmu pengetahuan (yaitu; terjadinya Islamisasi ilmu ekonomi).
Pada beberapa masa yang dilalui tersebut, perkembangan pemikiran tentang ekonomi dan keuangan dalam Islam mempunyai karakteristik masing-masing, yang disesuaikan dengan pemikiran yang ada namun tidak terlepas dengan kaedah hukum yang melandasinya yaitu, Al-Qur’an dan Sunnah Rosul serta upaya ‘Ijtihad yang diusahakan.Seperti, dalam permasalahan tentang ghanimah (harta rampasan perang), apakah dibagi langsung kepada para mujtahid atau tidak. Maupun permasalahan tentang bunga bank, apakah dapat dikatagorikan sebagai bunga yang dilarang dalam Islam atau bukan. Sehingga dalam perkembangannya keuangan dalam pemerintahan Islam berkembang dimulai hanya berupa, ghanimah dan zakat (pada saat turunnya wahyu), menjadi Zakat, Ghanimah, Kharaj , Jizyah dan ‘Usyur. Sehingga dapat dimungkinkan permasalahan ekonomi dalam bentuk realitas kenyataan yang ada dapat selalu berkembang, dimana permasalahan tersebut belum ada di masa turunnya wahyu, tetapi hal tersebut dapat dicarikan jawabannya dengan menukilkan Al-Qu’an dan Sunnah Rosul sebagai rujukan utama serta upaya ‘Ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdul, M.M .1995. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Diterjemahkan Oleh : M.Nastangin. PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta
- Al-Rayyis dan M. B. Islami. 1995. Al-Daulah Al-Islamiyah : Al-Kharaj Wa Al-Anwal,” hal 17 dalam “Reading In Public Finance In Islam. First Edition. Islamic Research and Training Institut-IDB. Jeddah
- Al-Shadar, M.B . 1987. Perbedaan Antara Ilmu dengan Sistem Ekonomi. Cetakan XX. Dasar Al-Ta’aruf. Beirut
- An-Nabhani, T. 1999. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif ; Prespektif Islam. Diterjemahkan Oleh : Moh. Maghfur Wachid. Risalah Gusti. Surabaya
- Chapra, U .2000. Islam dan Pembangunan Ekonomi. Penerjemah : Ikhwan Abidin Basri. Gema Insani Press. Jakarta
- Chapra, U .2000. Sistem Moneter Islam. Penerjemah : Ikhwan Abidin Basri. Gema Insani Press. Jakarta
- Fikri. Ali, Ahmad Muflih Saefuddin, Amr Radjab Batubara, Muhammad Anis Matta, Muhammad Hamil Tadjuddin, Muhammad Syafi’i Antonio, Rachmat Husein dan Rambat Lupiyoadi. 1997. Wawasan Islam dan Ekonomi (sebuah bunga rampai). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
- Imarah, M. “Pengantar Studi Untuk Al-Amwal” Katsir, I. 1984. Tafsir Ibnu Katsir. Bulan Bintang. Bandung
- Quthub, M . 1988. Waqi’una Al-Mu’ashir. Muassasah Al-Madinah Li Al-Shahafah. Jeddah
- Qardhawi, Y. 1980. Halal dan Haram Menurut Islam. Bulan Bintang. Bandung
- 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Penerjemah : Zainal Arifin dan Dahlia Husin. Gema Insani Press. Jakarta
- Qutub, S.1984. Fikih Sunnah. Bulan Bintang. Bandung
- Riza, M.S . 2000. Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam. Dialog Ekonomi : Mencari Sistem Ekonomi Alternatif, diselenggarakan oleh KMS-IPB. Bogor.
- Syafi’i, M. A dan C.K. Hakim. 2001. Lembaga Keuangan Islam dalam Prespektif Sejarah. Bahan Kuliah Ekonomi Islam di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
- Muhammad, A. A dan F.A.A Karim. 1999. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Alih Bahasa : Imam Saefuddin. CV. Pustaka Sejati. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar