Riwayat Hidup
Berbeda dengan kehidupan beberapa filosof besar Islam yang berpengaruh dan memiliki pengaruh besar di dunia Islam dan Barat Latin, seperti Ibn Sina (370-429 H atau 980-1037 M), latar belakang keluarga atau kehidupan awal, pelatihan dan pendidikan al-Farabi sangat sedikit yang diketahui dengan pasti. Bahkan berkenaan dengan kehidupannya setelah itu, terdapat banyak episode yang hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti. Meskipun al-Farabi mempunyai beberapa murid dekat, dia tidak pernah mendiktekan otobografinya kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana yang dilakukan Ibn Sina kepada murid kesayangannya, al Juzjani. Juga tidak seperti Ibn Khaldun, al-Farabi tidak mau menulis otobiografinya sendiri.
Al-Farabi juga dikenal dengan nama lain Abū Nasir al-Fārābi, dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir. Dia dilahirkan di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab, provinsi Transoxiana, Turkestan sekitar tahun 257 H atau 890 M. Kurang lebih wilayah ini menjadi Kazakhstan sekarang. Tempat kelahiran al Farabi tidak termasuk dar al islam hingga sekitar tiga dasawarsa sebelum kelahirannya. Saat itu distrik Isbijab tempat Farab terletak, ditaklukkan dan diislamkan oleh Nuh Ibn Asad, salah satu anggota keluarga Samaniyah, pada tahun 225 H atau sekita 839-840M. Ini berarti kemungkinan besar kakek al-Farabi termasuk muallaf (orang yang baru masuk Islam).
Meskipun dalam sumber-sumber tertentu ayahnya disebutkan keturunan bangsawan Persia, namun keluarga al-Farabi dianggap sebagai orang Turki. Ada kemungkinan lain Farabi adalah seorang Syi’ah Imamiyah (Syiah Imamiyah adalah salah satu aliran dalam islam dimana yang menjadi dasar aqidah mereka adalah soal Imam) yang berasal dari Turki.
Bukan hanya karena mereka berbicara dalam bahasa Sogdia atau sebuah dialek Turki, tetapi karena gaya hidup dan kebiasaan kultural mereka mirip orang Turki. Bahwa al-Farabi mestinya-paling tidak-berasal dari keluarga terhormat, kalau bukan dari keluarga yang kaya, seperti yang ditegaskan oleh D.M.Dunlop.
Pendapat ini didasarkan atas pertimbangannya tentang nama kakek al Farabi, Tharkhan yang dalam bahasa Turki bukan hanya menunjukkan nama seorang pejabat militer tetapi juga berkaitan dengan keistimewaan-keistimewaan dan hak-hak feodal tertentu. Ada pula yang mengatakan bahwa ayah Farabi seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli.
Jika memang demikian, maka tradisi keluarga dengan karir militer menonjol yang agaknya baru saja ditegakkan, dilanggar ketika al Farabi yang berbakat intelektual menyebal dari tradisi itu dan memilih kehidupan ilmiah. Sebagaimana dipaparkan oleh Ibn Abi Usaibi’ah, ayah al Farabi ternyata juga seorang pejabat militer (aa’ib jaisy).
Kemungkinan besar ayah al-Farabi berdinas dalam ketentaraan Pemerintahan dinasti Samaniyah yang menguasai sebagian besar wilayah Transoxiana. Sejak 260 H atau 874 M seluruh kawasan itu menjadi propinsi otonom di dalam kekhalifahan ‘Abbasiyah. Tentu saja tidak ada alasan yang memaksa kita untuk lebih condong pada pendapat Walzer bahwa ayah al-Farabi mungkin merupakan anggota pengawal khalifah berkebangsaan Turki. Ini berarti al-Farabi berada di Baghdad lebih awal. Karena hal ini, dia, memisahkan dirinya dari filosof-filosof islam abad pertengahan lainnya.
Tak seperti Ibn Sina yang ayahnya bekerja dalam birokrasi Samaniyyah atau al Kindi yang ayahnya adalah gubernur Kufah. Al Farabi tidak termasuk dalam kelas katib, suatu kelas yang memainkan peranan administratif yang besar bagi penguasa-penguasa Abbasiyah beserta satelit-satelit mereka.
Dalam catatan Ibn Khallikan, al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. sedangkan menurut Ibn Abi Usaibi’ah berdasarkan laporan Abu’l Hasan Al Amidi, Damaskuslah tempat al Farabi dibesarkan.
Pendidikan Al Farabi
Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.
Al Farabi belajar ilmu-ilmu Islam di Bukhara. Sebelum diciptakan sistem madrasah di bawah Seljuq, menuntut ilmu berlangsung di lingkungan-lingkungn pengajaran yang diadakan oleh berbagai individu, baik di rumah mereka maupun di masjid. Selain itu dilakukan pula di berbagai istana di seluruh empirium yang mempunyai perpustakaan besar. Perpustakaan-perpustakaan ini menyambut hangat para pakar yang hendak melakukan studi.
Ada dikotomi tertentu antara ilmu-ilmu Islam seperti tafsir, hadist, fiqih serta ushul ( prinsip-prinsip dan sumber-sumber agama ) dan studi ambahannya seperti studi bahasa Arab dan kesusastraan dan apa yang disebut ilmu-ilmu asing, yaitu ilmu-ilmu Yunani yang memasuki dunia Islam melalui penerjemahan oleh orang-orang Kristen Nestorian seperti Hunain Ibn Ishaq (wafat 873 M) dan mazhabnya. Lembaga pendidikan Islam pada awalnya bersifat tradisional, yang mendapatkan dukungan finansial dari wakaf, sedangkan ilmu-ilmu rasional biasanya diajarkan di rumah atau Dar Al-Ilm. Dengan demikian dapat disimpulkan di Farab lah, yang penduduknya sebagian besar pengikut mazhab fiqih Syafi’iyah, al Farabi menerima pendidikan dasarnya.
Apa yang dipelajari al Farabi pada tingkat dasar, baik di bawah bimbingan guru privat di rumah atau dalam pertemuan-pertemuan formal di masjid, tidak jauh berbeda dari kurikulum tradisional diberikan kepada setiap anak muslim sebayanya pada masa itu. Tentu saja, basisnya adalah al Qur’an.
Selain menerima pengajaran al Qur’an, al Farabi mestinya juga telah mempelajari tata bahasa. Kesusatraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqih, tafsir dan ilmu hadis) dan aritmetika dasar.
Setelah mendapatkan pendidikan awal al-Farabi kemudian pergi ke Marw. Di Marw inilah al-Farabi belajar ilmu logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani yaitu Yuhana ibn Hailan.
Setelah mendapatkan pendidikan awal al-Farabi kemudian pergi ke Marw. Di Marw inilah al-Farabi belajar ilmu logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani yaitu Yuhana ibn Hailan.
Pada masa kekhalifahan al-Mu’tadid (892-902 M), baik Yuhana Ibn Hailan maupun al Farabi pergi ke Baghdad. Al Farabi unggul dalam ilmu logika, selanjutnya dia banyak memberikan sumbangsihnya dalam penempatan sebuah bahasa filsafat baru dalam bahasa Arab, meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab.
Karier dan Pencapaian Al Farabi
Antara 910 dan 920 M, al Farabi kembali ke Baghdad untuk mengajar dan menulis, reputasinya tersohor sedemikian rupa sehingga dia mampu mencapai ahli ilmu mantiq (logika), yang kemudian membuatnya mendapat sebutan sebagai al-Mu’allim al-Tsani (guru kedua). Maksudnya ia adalah orang yang pertama kali memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab, dan dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif . Keahlian ini rupanya sama yang dimiliki oleh Aristoteles sebagai Guru pertama. Ia (Aristoteles) orang pertama yang menemukan ilmu logika.
Karier dan Pencapaian Al Farabi
Antara 910 dan 920 M, al Farabi kembali ke Baghdad untuk mengajar dan menulis, reputasinya tersohor sedemikian rupa sehingga dia mampu mencapai ahli ilmu mantiq (logika), yang kemudian membuatnya mendapat sebutan sebagai al-Mu’allim al-Tsani (guru kedua). Maksudnya ia adalah orang yang pertama kali memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab, dan dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif . Keahlian ini rupanya sama yang dimiliki oleh Aristoteles sebagai Guru pertama. Ia (Aristoteles) orang pertama yang menemukan ilmu logika.
Murid-murid al-Farabi sendiri yang disebutkan namanya hanyalah teolog sekaligus filosof Jacobite Yahya ibn ‘Adi (wafat 975 M) dan saudara Yahya yaitu Ibrahim. Yahya sendiri menjadi guru logika terkemuka.
Menurut Ibn Abi Usaibi’ah dan al Qifti, al Farabi pergi ke Suriah pada tahun 942 M. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah di Damaskus, al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat dengan memakai lampu jaga. Al Farabi terkenal sangat shaleh dan zuhud.
Al Farabi tidak begitu memperhatikan hal-hal dunia. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah, al Farabi membawa manuskripnya yang berjudul Al Madinah Al Fadhilah, manuskripnya ini mulai ditulisnya di Bahdad ke Damaskus. Di Damaskus inilah manuskripnya tersebut diselesaikan pada tahun 942 M.
Sekitar masa inilah al Farabi setidak-tidaknya melakukan sebuah perjalanan ke Mesir (Ibn Usaibi’ah menyebutkan tanggalnya yaitu 338 H, setahun sebelum al Farabi wafat) yang pada saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Ikhsyidiyyah ini semula dibentuk oleh opsir-opsir tentara Farghanah di Asia Tengah. Menurut Ibn Khallikan di Mesir inilah al Farabi menyelesaikan Siyasah Al Madaniyyah yang dimulai ditulisnya di Baghdad.
Setelah meninggalkan Mesir al Farabi bergabung dengan lingkungan cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya yang berada disekitar pangeran Hamdaniyyah yang bernama Saif Al Daulah. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah disinilah al Farabi mendapatkan gaji kecil yaitu empat dirham perak sehari.
Al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H atau Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).
Karya-karya Al Farabi
Karya al Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan, dengan pengecualian khusus pada ilmu kedokteran. Selama hidupnya al Farabi banyak berkarya. Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al- Farabi dapat ditinjau menjdi 6 bagian :
- Logika
- Ilmu-ilmu Matematika
- Ilmu Alam
- Teologi
- Ilmu Politik dan kenegaraan
- Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah)
Karya al Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam pembicaraannya. Sebagian karangan al Farabi masih diketemukan di beberapa perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabadikan namanya. Ciri khas tertentu yang ada pada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah namun juga memberi ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy dan Plotinus.
Selama di Baghdad waktunya dihabiskan untuk mengajar dan menulis. Hasil karyanya di antaranya buku tentang ilmu logika, ilmu fisika, ilmu jiwa, metafisika, kimia, ilmu politik, musik dan lain-lain. Tapi kebanyakan karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran. Sekarang yang masih tersisa diperkirakan hanya sekitar 30 buah.
Karya-karya tulis dari al Farabi antara lain adalah :
- Al Jami’u Baina Ra’yai Al Hakimain Al Falatoni Al Hahiy wa Aristhotails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles)
- Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan)
- As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)
- Fususu Al Taram (hakikat kebenaran)
- Arroo’u Ahli Al MAdinah Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan)
- As Syiyasyah (ilmu politik)
- Fi Ma’ani Al Aqli
- Ihsho’u Al Ulum (kumpulan-kumpulan ilmu/statistik ilmu)
- At Tangibu ala As Sa’adah
- Ishbatu Al Mufaraqaat
- Al Ta’liqat
- Agrad al Kitab ma Ba’da Tabi’ah (intisari buku Metafisika)
- ‘Uyun al Masa’il (pokok-pokok persoalan)
Ilmu tersebut yang paling mendapat perhatian besar oleh al Farabi adalah ilmu fiqih dan ilmu kalam. Sedangkan dalam ilmu mantiq al-Farabi membahas delapan bagian yaitu :
- Al Maqulaati Al Asyr (kategori)
- Al Ibarat (ibarat)
- Al Qiyas (analogi)
- Al Burhan (argumentasi)
- Al Mawadi Al Jadaliyah (the topics)
- Al Hikmatu Mumawahan (sofistika)
- Al Hithobah (ilmu pidato)
- Al Syi’ir (Puisi)
Filsafat Al Farabi
Filsafat al Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aritoteles dan Neo Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syiah Imamiyah. Al Farabi berkeyakinan penuh bahwa antara agama dan filsafat tidak terdapat pertentangan karena sama-sama membawa kepada kebenaran. Namun demikian, ia tetap berhati-hati atau bahkan khawatir kalau-kalau filsafat itu membuat iman seseorang menjadi rusak, dan oleh karena itu ia berpendapat sebaiknya di samping dirumuskan dengan bahasa yang samar-samar, filsafat juga hendaknya jangan sampai bocor ke tangan orang awam.
Filsafat al Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aritoteles dan Neo Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syiah Imamiyah. Al Farabi berkeyakinan penuh bahwa antara agama dan filsafat tidak terdapat pertentangan karena sama-sama membawa kepada kebenaran. Namun demikian, ia tetap berhati-hati atau bahkan khawatir kalau-kalau filsafat itu membuat iman seseorang menjadi rusak, dan oleh karena itu ia berpendapat sebaiknya di samping dirumuskan dengan bahasa yang samar-samar, filsafat juga hendaknya jangan sampai bocor ke tangan orang awam.
Pemikiran filsafat al Farabi yang terkenal adalah penjelasannya tentang emanasi (al Faidh), yaitu teori yang mengajarkan tentang proses urut-urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari zat yang wajib al wujud (Tuhan). Menurutnya, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Segala sesuatu, menurut al Farabi, keluar (memancar) dari Tuhan karena Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Ilmu Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahuiNya.
Selain filsafat emanasi, al Farabi juga terkenal dengan filsafat kenabian dan filsafat politik kenegaraannya. Dalam hal filsafat kenabian, al Farabi disebut sebagai filusuf pertama yang membahas soal kenabian secara lengkap. Al Farabi berkesimpulan bahwa para nabi atau rasul maupun para filusuf sama-sama dapat berkomunikasi dengan akal Fa’al, yakni akal ke sepuluh (malaikat). Perbedaannya, komunikasi nabi atau rasul dengan akal ke sepuluh terjadi melalui perantaraan imajinasi (al mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedangkan para filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh malalui akal Musfad, yaitu akal yang mempunyai kesanggupan dalam menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang ada diluar diri manusia.
Dalam hal filsafat kenegaraan, al Farabi membedakan menjadi lima macam :
Selain filsafat emanasi, al Farabi juga terkenal dengan filsafat kenabian dan filsafat politik kenegaraannya. Dalam hal filsafat kenabian, al Farabi disebut sebagai filusuf pertama yang membahas soal kenabian secara lengkap. Al Farabi berkesimpulan bahwa para nabi atau rasul maupun para filusuf sama-sama dapat berkomunikasi dengan akal Fa’al, yakni akal ke sepuluh (malaikat). Perbedaannya, komunikasi nabi atau rasul dengan akal ke sepuluh terjadi melalui perantaraan imajinasi (al mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedangkan para filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh malalui akal Musfad, yaitu akal yang mempunyai kesanggupan dalam menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang ada diluar diri manusia.
Dalam hal filsafat kenegaraan, al Farabi membedakan menjadi lima macam :
- Negara utama (al-madinah al-fadilah), yaitu Negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurut Negara terbaik adalah Negara yang dipimpin oleh rasul dan kemudian oleh para filusuf.
- Negara orang-orang bodoh (al-madinah al-jahiliyah) yaitu Negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
- Negara orang-orang fasiq (al-madinah al fasiqah), yakni Negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal (Fa’alal-madinah al-fadilah), tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang bodoh; seperti penduduk utama.
- Negara yang berubah-ubah (al-madinah al-mutabaddilah), ialah negara yang penduduknya semula mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki Negara utama, tetapi kemudian mengalami kerusakan;
- Negara sesat (al-madinah ad-dallah), yaitu Negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran tentang Tuhan dan akal Fa’al, tetapi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatnnya.
Mengenai etika kenegaraan, al Farabi mengemukakan suatu ide bahwa dalam tiap keadaan ada unsur-unsur pertentangan. Hal ini dalam alam, yang kuat berarti lebih sempurna dari yang lemah. Dalam politik kenegaraan orang harus mengambil teladan dari naluri-naluri hewani itu. Sebab keadilan itu baru bisa dilaksanakan bila kita dalam kemenangan.
Dalam hal ini al Farabi memberi contoh tentang jual-beli atau perjanjian yang dibuat oleh manusia. Hal itu terjadi sebenarnya karena adanya faktor kelemahan secara individual pada masing-masing anggota yang bersangkutan. Akan tetapi, bila salah seorang yang mengadakan perjanjian itu menjadi lebih kuat, maka dia akan mengubah maksud perjanjian yang telah dibuatnya menurut interpretasi kemauannya sendiri.
Etika kenegaraan al Farabi ini ternyata sangat sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi dalam perkembangan sejarah Negara-negara sejak dahulu kala hingga dewasa ini.
Pemikiran Al Farabi tentang Asal-usul Negara dan Warga Negara
Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara. Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup yang berupa sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata , menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.
Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara. yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar. Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.
Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada tiga klasifikasi utama :
- Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.
- Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi
- Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.
Pemikiran Al Farabi tentang Kemimpinan
Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna di dalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).
Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai Ra’is atau pemimpin golongan kedua. Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi , namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara dapat berada di ambang kehancuran.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar