Web Toolbar by Wibiya

Minggu, 12 Februari 2012

Sejarah Singkat Pandu Hizbul Wathan

Lahirnya Hizbul Wathan

Pada suatu waktu sepulang dari pengajian STAV yang diadakan setiap Ahad (Minggu), KHA Dahlan memanggil beberapa guru Muhammadiyah, yaitu Somodirdjo seorang manteri guru Standard-School Suronaton, Sjarbini dari sekolah Muhammadiyah Bausasran dan seorang lagi dari Sekolah Muhammadiyah Kota Gede. Beliau menyampaikan,Saya tadi di Solo pulang dari Tabligh, sampai di muka Pura Mangkunegaran di alun-alun melihat anak banyak berbaris, setengah sedang bermain-main semuanya berpakaian seragam. Baik sekali ! Apa itu ?Somodirjo menjelaskan bahwa itu adalah Pandu Mangkunegaran yang namanya JPO (Javaanche Padvinders Organistie) yang merupakan suatu gerakan pendidikan anak-anak di luar sekolah dan rumah.

Mendengar keterangan tersebut KHA Dahlan berpendapat bahwa kegiatan seperti ini sangat baik bagi anak-anak di lingkungan keluarga Muhammadiyah. Selanjutnya beliau mengharap kepada para guru untuk dapat menyontoh gerakan pendidikan itu. Somodirjo dan Sjarbini memelopori mengadakan persiapan-persiapan akan mengadakan gerakan pendidikan untuk anak-anak di luar sekolah dan rumah. Mula-mula yang akan digerakkan para guru terlebih dahulu. Pendaftaran dimulai dan latihan pun diadakan di SD Muhammadiyah Suronatan tiap Ahad sore. Latihan meliputi baris berbaris, bermain tambur, olah raga, PPPK dan Kerohanian. Sjarbini sorang pemuda yang pernah mendapat pendidikan kemiliteran melatih baris berbaris. Banyak pemuda yang tertarik sehingga pengikut latihan semakin banyak. Akhirnya diadakan penggolongan peserta, yakni golongan dewasa dan anak-anak.

Padvinder Muhammadiyah

Tahun 1918 adalah saat gerakan Hizbul Wathan dibentuk, diawali dengan nama Padvinder Muhammadiyah. Nama Padvinder Muhammadiyah pun dengan cepat menjadi semakin popular. Untuk pengawasan Gerakan Padvinder Muhammadiyah ini diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah bagian Sekolahan (pendidikan). Oleh Pengurus Muhammadiyah Bagian Sekolahan dibentuklah pengurus Padvinder Muhammadiyah yang terdiri dari :
  • Ketua : H. Muchtar
  • WK Ketua : H. Hadjid
  • Sekretaris : Somodirdjo
  • Keuangan : Abdul Hamid
  • Organisasi : Siradj Dahlan
  • Komando : Sjarbini dan Damiri.

Untuk memajukan gerakan Padvinder itu maka direncanakan akan mengadakan studi banding ke JPO Solo. Agar kunjungan ke JPO Solo tersebut meriah, bagian sekolahan mengusahakan seragam berupa kemeja drill kuning dan celana drill biru, sedang untuk setangan leher menggunakan sapu tangan. keberulan yang mudah ditemui dan banyak dijual ialah sapu tangan warna merah berbintik hitam. Kedatangan Padvinder Muhammadiyah menggemparkan kota Solo. Di lapangan Mangkunegaran diadakan demonstrasi-demonstrasi dan macam-macam permainan sebagai perkenalan. Padvinder Muhammadiyah mendapat banyak pelajaran berharga dalam kunjungannya tersebut.

Nama Hizbul Wathan

Sepulang dari kunjungan ke Solo diadakan musyawarah tentang nama Padvinder Muhammadiyah. Di rumah H. Hilal di Kauman, R.H. Hajid mengajukan nama yang dianggap cocok pada waktu itu yaitu Hizbul Wathan, yang berarti pembela tanah air. Hal ini mengingat adanya pergolakan-pergolakan di luar negeri dan dalam negeri sendiri yang sedang berjuang melawan penjajahan Belanda.

Nama Hizbul Wathan sendiri berasal dari nama kesatuan tentara Mesir yang sedang berperang membela tanah airnya. Dengan kata mufakat, nama Hizbul Wathan dipakai menggantikan nama Padvinder Muhammadiyah di tahun 1920. Kejadian itu bertepatan dengan peristiwa akan turun tahtanya Paduka Sri Sultan Hamengkubuwono VII di Yogyakarta.

Untuk turut menghormat maka HW disiapkan untuk ikut mengiringi pindahnya Sri Sultan Hamengkubuwono VII dari keraton ke Ambarukmo dan didakan persiapan-persiapan dan latihan. Pada tanggal 30 januari 1921 barisan HW keluar turut mengiringi Sri Sultan pindah dari keraton ke ambarukmo. Keluarga HW mendapat perhatian dari masyarakat luas. Mulai saat itulah HW mulai dikenal masyarakat umum. Hal ini ditambah lagi tampilnya HW berbaris dalam perayaan penobatan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dengan para tamu undangan kehormatan yang menyaksikan beberapa hari kemudian. HW telah menjadi buah bibir masyarakat. Lewat even-even seperti inilah seragam HW mulai dikenal masyarakat. Maka tidak heran jika terkadang jika ada anak Belanda atau Cina berpakaian Padvinder (NIPV) maka orang akan berkomentar ,Lho, itu ada HW Landa, lho itu ada HW Cina. Bahkan jika melihat ada anak-anak berpakaian pandu selalu dikatakan Pandu HW.

Pada tanggal 13 Maret 1921 KH. Fachrudin berangkat menunaikan ibadah haji untuk yang ke dua kalinya. Keberangkatanya ini diantar oleh barisan pandu HW dan warga Muhammadiyah sampai di stasiun Tugu. Kyai H. Fachrudin sempat berpesan di depan anggota-anggota HW dengan menanamkan semangat anti penjajahan pada anak HW yang bunyinya Tongkat-tongkat yang kamu panggul itu pada suatu hari nanti akan menjadi senapan dan bedil”. Pesan Kyai H. Fachrudin ini ternyata benar, karena beberapa tahun kemudian banyak anggota HW yang memegang senjata pada zaman Jepang dengan masuk barisan PETA (Pembela Tanah Air) seperti Suharto (Presiden kedua RI), Jendral Soedirman, Mulyadi Joyomartono, Kasman Singodimejo, Yunus Anis dan lain-lain.

Pesatnya kemajuan HW rupanya mendapat perhatian dari NIPV yang saat itu merupakan anggota perkumpulan kepanduan Hindia Belanda (NPV). Pada waktu itu gerakan kepanduan yang mendapat pengakuan Internasional hanyalah yang bergabung dalam NIPV tersebut.

HW Menolak Bergabung dengan NIPV

M. Ranelf seorang pemimpin dari NIPV dan sebagai utusan perwakilan NIPV datang ke Yogyakarta menemui pimpinan HW, mengajak HW untuk bergabung dalam organisasi NIPV. Usaha Ranelf selaku komisaris NIPV tiada hentinya untuk membujuk HW agar mau menjadi anggota NIPV. Sampai-sampai ketika Konggres Muhammadiyah tahun 1926 di Surabaya, ia masuk dalam rombongan HW dan setia mengikuti konggres Muhammadiyah dari awal sampai akhir.

Selanjutnya diadakan pertemuan lagi di yogyakarta oleh perwakilan NIPV, mengajak HW masuk ke dalam organisasi NIPV. Tetapi HW adalah HW, bukannya seperti yang biasanya di sebut padvinder. HW mempunyai prinsip-prinsip yang sukar diterima oleh padvinder. Kyai Haji Fachrudin mengetahui bahwa NIPV merupakan kepanduan yang bersifat ke Belanda-an dan merupakan alat dari penjajah Belanda sehingga ajakan tersebut ditolak HW. Alasan HW menolak ajakan tersebut ialah karena HW sudah mempunyai dasar sendiri yaitu Islam, HW sudah mempunyai induk sendiri yaitu Muhammadiyah. Sesuai dengan induknya HW bersemangat anti penjajah. HW tidak dapat diatur menurut aturan NIPV.

HW Pasa Masa Penjajahan Jepang

Pada permulaan jaman Jepang HW masih nampak kegiatannya, bahkan ikut menyemarakkan pawai yang diadakan oleh Jepang dalam rangka merayakan ulang tahun Tenno Heika. Sedangkan yang memimpin rombongan HW dalam pawai tersebut adalah Haiban Hajid. HW terpilih untuk ikut serta dalam pawai karena HW terkenal bagus dalam baris berbaris dibandingkan dengan kepanduan lainnya. Oleh karena itu pandu-pandu dari organisasi lain memberi identitas HW sebagai “Pandu Militer”.

Kepanduan pada permulaan pendudukan jepang nampaknya akan mendapat kesempatan hidup terus. Namun tidak lama kemudian secara terang-terangan Jepang melarang berdirinya organisasi-organisasi kepanduan serta pergerakan lainnya.

Pada Masa Kemerdekaan

Sesudah proklamasi kemerdekaan timbulah kembali keinginan untuk menghidupkan kembali organisasi Kepanduan Indonesia, sedangkan bentuk dan sifatnya harus sesuai dengan keadaan, yakni suatu bentuk organisasi kepanduan yang bersatu meliputi seluruh Indonesia dan tidak terpecah belah.

Pada akhir bulan September 1945 di Balai Mataram Yogyakarta berkumpulah beberapa orang pemimpin pandu. Dari perwakilan HW hadir M. Mawardi dan Haiban Habib. Pada tanggal 27-29 Desember 1945 diadakan konggres Kesatuan Kepanduan Indonesia yang dihadiri lebih kurang 300 orang termasuk utusan dari HW. Dalam konggres ini dengan suara bulat diputuskan membentuk suatu organisasi kesatuan kepanduan dengan nama Pandu Rakyat Indonesia. Anggota pengurus Kwartir Besar Pandu Rakyat Indonesia antara lain dr. Muwardi (KBI), Hertog (KBI), Abdul Gani (HW) dan Jumadi (HW). Dan beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1948, terjadilah aksi polisonil ke 2 atau Agresi militer, Belanda menduduki Yogyakarta, ibu kota RI.

Konggres Pandu Rakyat kedua diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 20-22 Januari 1950. Keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam konggres Pandu Rakyat Indonesia yaitu antara lain menerima konsepsi baru yang memberi kesempatan kepada bekas pemimpin pandu untuk menghidupkan kembali bekas organisasinya masing-masing.

Amanat Panglima Besar Jendral Sudirman

Pada hari Ahad Legi 19 Desember 1948 belanda menyerbu dan menduduki ibu kota RI Yogyakarta dan menangkap Presiden juga Wakil Presiden serta beberapa pemimpin Indonesia lainnya. Tetapi keadaan ini tidak berarti RI jatuh. Panglima Besar Jendral Sudirman (salah satu aktivis pandu HW) meskipun dalam keadaan sakit beliau pantang menyerah, keluar kota untuk memimpin perang gerilya.

Pada tanggal 29 juni 1949 Belanda meninggalkan Yogyakarta dan masuklah tentara RI ke kota Yogyakarta, ibu kota RI, yang terkenal dengan peristiwa Yogya kembali. Panglima Besar jendral Sudirman masih dalam keadaan sakit dan di rawat di RS Magelang. M. Mawardi dan beberapa orang wakil dari Muhammadiyah menengok beliau ke RS Magelang. Pada saat itu Jendral Sudirman mengamanatkan kepada Mawardi selaku Wakil Muhammadiyah agar kepanduan Hizbul Wathan yang merupakan tempat pendidikan untuk menumbuhkan cinta tanah air didirikan lagi. Di samping itu juga untuk melanjutkan tujuan semula pendirian HW yaitu sebagai pencetak kader Muhammadiyah yang berjuang dalam penyebaran agama Islam. Dikatakanya bahwa Hizbul Wathan merupakan tempat yang baik untuk mendidik anak-anak Muhammadiyah agar kelak menjadi seorang pejuang yang cinta tanah air, dan sekaligus taat pada agama Islam.

Apel Peresmian Berdirinya Kembali HW

Untuk melaksanakan amanat dari Panglima Besar Jendral Sudirman, pada sore hari tanggal 29 Januari 1950 secara simbolis HW mengadakan apel yang dipimpin oleh Haiban Habib untuk meresmikan berdirinya kembali kepanduan Hizbul Wathan. Dan pada tanggal 31 Januari 1950 Panglima Besar TNI Jendral Sudirman wafat. Oleh karenanya pada waktu itu dikenal semboyan yang berujar HW bangkit lagi untuk melanjutkan kepemimpinan Jenderal Sudirman”. Setelah HW resmi berdiri lagi banyak anggota Pandu Rakyat Indonesia yang dulu adalah anggota pandu HW keluar untuk masuk kembali dalam pandu Hizbul Wathan.

Majelis HW

Kepanduan Hizbul Wathan yang merupakan bagian dalam organisasi Muhammadiyah secara struktural tidak dapat dipisahkan dari Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah pun membentuk Majelis HW yang merupakan suatu badan pembantu Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diserahi tugas melaksanakan kegiatan dan manajerial keorganisasian di bidang ke HW- an. Majelis HW pusat disebut Kwartir Besar HW, yang mempunyai struktur kepimpinan bertingkat di wilayah (ditingkat propinsi), daerah (di tingkat kabupaten atau kotamadya) maupun cabang (di tingkat kecamatan). Anggota Majlis HW terdiri dari anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tentang HW. Mereka ditetapkan dan diberhentikan oleh PP Muhammadiyah.

Peleburan ke Dalam Pramuka dan Lahirnya Kembali HW

Pada tanggal 9 Maret 1961, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer : 238/ 61, Kepanduan Hizbul Wathan dan kepanduan lainnya dilebur ke dalam Pramuka. Setelah tertidur lama, pada tanggal 10 Sya’ban 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 18 November 1999 M Kepanduan Hizbul Wathan dibangkitkan kembali oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan Surat Keputusan No : 92/SK-PP/VI-B/1.b/1999 M. Dan dipertegas dengan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor : 10/KEP/I.O/B/2003 M.

Sumber

1 komentar:

  1. mohon maaf untuk lambang HW bisa dibantu untuk dirubah terbaru yaa ramanda .. terimakasih ..

    BalasHapus